Thursday, January 18, 2007

Motif Dan Kekuatan Untuk Memimpin Keluarga

Dalam sebuah keluarga, tentu ada pembagian peran untuk mencapai sebuah tujuan. Menjadi keluarga yang harmonis, tenang adalah sebagian dari tujuan terbentuknya sebuah keluarga.

Membentuk keluarga adalah fitrah bagi setiap manusia. Kebutuhannya untuk mencari pasangan dan saling berbagi dengan pasangan tersebut menjadi jawaban atas pemenuhan dirinya sebagai makhluk social.

Dalam menjalankan sebuah keluarga dengan niat untuk mewujudkan sebuah tujuan—keluarga harmonis dan bahagia—tentu dibutuhkan pembagian peran dan upaya untuk mengoptimalkan peran masing-masing, sehingga semua tujuan bisa tercapai.

Kepemimpinan dalam sebuah keluarga tidak mutlak dimiliki oleh kepala keluarga yang sangat identik dengan peran seorang suami atau ayah. Kepemimpinan bukanlah sebuah posisi, tapi lebih menjadi sebagai fungsi. Kepemimpinan lebih mewujud melalui pengaruh. Seorang menjadi pemimpin karena memiliki pengaruhi atas orang lain.

Seorang laki-laki memang dalam pandangan umum otomatis menjadi kepala keluarga yang akan menjadi penggerak roda keluarga menuju tujuan yang disepakatio bersama. Ketika masa awal keluarga tersebut, kesepakatan hanya antara suami dan isteri, akan tetapi ketika bertambahnya anggota keluarga dengan kehadiran anak, maka kesepakatan dan peran pun bertambah dengan adanya anak—satu, dua atau lebih dari dua anak.

Pembagian peran dan kemampuan menggerakkan roda keluarga menuju sebuah tujuan yang disepakati adalah wahana bagi optimalnya potensi kepemimpinan semua komponen keluarga. Ketika kepemimpinan diartikan hanya sebagai posisi, maka beban untuk menggerakkan roda keluarga hanya di pundak suami/ayah. Ketika kepemimpinan diartikan sebagai pengaruh, maka beban untuk menggerakkan roda keluarga tersebar di seluruh komponen keluarga.

Kepemimpinan bisa berarti power dan motives (kekuasaan/kekuatan dan motif) (James MacGregor Burns). Kekuasaan/kekuatan yang dimiliki seseorang tanpa motif yang tepat hanya akan menghasilkan sub ordinasi, menganggap orang lain sebagai bawahan.

Motif yang tepat tanpa kekuatan/kekuasaan tidak mampu menggerakan orang lain, apa yang dilakukan berhenti di tataran nilai dan norma, tidak sampai pada perilaku. Motif yang tidak tepat dengan tidak adanya kekuasaan maka hanya akan menghasilkan keluhan dan kegelisahan.

Dalam sebuah keluarga, tentu saja, suami/ayah menjadi prioritas utama untuk menjadi penggerak keluarga, menjalankan kepemimpinan dalam keluarga. Masalah berikutnya adalah, apakah seorang suami/ayah yang notabene berperan sebagai kepala keluarga memiliki motif yang tepat dengan kekuasaannya?

Jika memiliki motif yang tepat, maka bagaimana menggerakakan seluruh komponen keluarga untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati?

Mengutip apa yang menjadi konsep kepemimpinan yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu ing ngarso sun tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani, adalah refleksi bahwa seorang pemimpin harus bisa menuntun dari depan, membimbing dari tengah dan mengikuti dari belakang.

Konsep kepemimpinan seperti ini memposisikan serang pemimpin tidak hanya memanfaatkan kekuasaannya untuk selalu mengambil posisi di depan dan menjadi orang yang paling tahu, akan tetapi di lain waktu justru menjadi pendamping yang supportif dan bahkan menjadi pengikut yang loyal.

Dalam keluarga, menjadi kepala keluarga berarti memahami potensi semua komponen keluarganya, baik potensi diri sendiri, pasangan maupun anak-anaknya. Dengan memahami potensi semua komponen keluarga, maka mudah bagi seorang pemimpin dalam keluarga untuk mengambil posisi dan memberikan pengaruh melalui posisi tersebut.

Menjadi pemimpin dalam keluarga berarti mengambil posisi yang tepat dan menggerakkan orang lain yang menjadi bagian dari keluarga tersebut dari berbagai arah. Ketika butuh dituntun, berarti seorang pemimpin berada di depan, ketika butuh ditemani berarti seorang pemimpin berdiri si samping dan ketika dibutuhkan untuk mendorong, maka seorang pemimpin berada di belakang.

Membangun keluarga memang bukannya tanpa hambatan, sama tidak mudahnya dengan membangun keluarga untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Oleh karena itu dibutuhkan kepemimpinan yang baik, benar dan kuat.

Kepemimpinan yang baik berarti adanya nilai-nilai yang telah disepakati, kepemimpinan yang benar berarti berjalan dalam prinsip-prinsip yang utama dan kepemimpinan yang kuat berarti penerimaan secara tulus dari orang yang dipimpinnya.

Memimpin keluarga berarti memadukan antara pembagian peran—yang juga melakukan pembagian kekuatan antara suami, isteri dan anak--dengan motif berdasarkan peran-peran tersebut. Jika paduannya kurang sempurna, maka jalannya proses berkeluarga tidak akan bisa menuju kebahagiaan. Keluarga akan kesulitan menemukan arah yang dituju, karena tidak ada kepemimpinan yang bisa mengayomi dan mengarahkan potensi menjadi optimal.

Monday, January 08, 2007

Memahami Karena Tidak Berfungsi

Memahami sesuatu tidak baik lebih mudah ketika terjadi sesuatu terhadap fungsinya.

Memahami bahwa Menteri Perhubungan tidak bagus, lebih mudah ketika "tragedi Adam Air"
dikomunikasikan dengan informasi yang tidak aktual, faktual dan akurat.

Memahami bahwa Menteri Kebudayaan tidak bagus,
lebih mudah ketika "tragedi pengembalian Piala Citra" menjadi konsumsi media...
ketika seorang Slamet Rahardjo bertanya, "apakah masih ada peran Film Indonesia
dalam Pembangunan Negara ini...?"

Memahami bahwa, kita, sebagai "khalifah" di muka bumi tidak bagus,
ketika apa yang kita miliki tidak berfungsi...
otak yang dimiliki bukan untuk berpikir bagaimana memberikan manfaat untuk orang lain
tangan yang dimiliki bukan untuk meringankan pekerjaan orang lain
kaki yang dimiliki bukan mengarah bersama menuju visi yang dicita-citakan
paru-paru yang dimiliki, setiap oksigen dan CO2 tidak disertai dengan bersyukur kepada-Nya

Menjadi pemimpin sebenarnya mudah.. selama memandangnya dari sisi fungsi, dan bukan posisi
kalau melihatnya dari sisi posisi, maka masalah lebih banyak dihadapi
karena banyak orang yang nyaman dengan sebuah posisi
kalau melihatnya dari sisi fungsi, maka amanah yang jadi kunci
kepuasan bukan ketika pujian datang, tapi amanah tertuntaskan

Melihat kepemimpinan sebagai posisi, hanya akan menggunakan telunjuk untuk memerintah
Melihat kepemimpinan sebagai fungsi, lebih banyak menggunakan tangan untuk merangkul

Melihat kepemimpinan sebagai posisi, lebih banyak marah kalau ada yang salah
Melihat kepemimpinan sebagai fungsi, lebih banyak mendengarkan ketika ada masalah

Memahami kepemimpinan tidak cukup melalui teori
karena kepemimpinan bukan hanya tentang "apa yang kita tahu"
tetapi, bagaimana kita berperilaku: memperlakukan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

Memahami kepemimpinan tidak cukup hanya dengan menduduki sebuah posisi
karena kepemimpinan bukan hanya tentang "apa yang kita miliki"
tetapi, bagaimana kita memanfaatkan apa yang kita miliki untuk memunculkan potensi
setiap orang yang berinteraksi dengan diri kita.

Memimpin berarti bertanggung jawab